Sabtu, 22 November 2008

Harapan

Senja di Sungai Musi

KAPAL


Ketika aku masih kecil sering aku berlama-lama duduk di tepian sungai musi tepatnya di daerah sungai gerong, karena disini banyak sekali kapal-kapal Tanker yang sedang melakukan docking untuk menganggut minyak mentah dari kilang minyak Pertamina. Aku sangat kagum melihat awak kapal, di dalam benakku melayang hayalan bercampur baur dengan cita-cita ku. Aku bermain dengan hayalanku, jika suatu ketika aku menjadi seorang pelaut tentu aku akan mengarungi samudra luas dan akan singgah di setiap pelabuhan manca negara. Terbayang olehku betapa senangnya aku dapat melihat kehidupan dunia luar dan ini akan menambah wawasan dan cakrawaku “.

Aku terbangun dari lamunanku ketika suling kapal di depanku berbunyi sangat keras sekali seakan-akan dia akan memecahkan gendang teligaku, rupanya kapal itu telah selesai memuat minyak mentah untuk di bawa entah kemana, yang pasti salah satu dari kekayaan bumi pertiwi ini telah dirampas. Walaupun dengan berbagai argumentasi yang dilontarkan oleh para penguasa di negara ini. Dalam benakku berkecamuk rasa ingin tahu, mengapa mereka menjual kekayaan alam ini dalam bentuk belum diolah secara sempurna ?, mengapa para ahli perminyakan tidak mengelola menjadi produk jadi ?, seperti bahan bakar kapal laut di hadapanku, bahkan mungkin kapal udara yang sedang melintas di kepalaku. Aku menjadi ragu, apakah aku terus bercita-cita menjadi seorang pelaut atau menjadi seorang teknokrat ?. Jika Jita-citaku tercapai menjadi seorang pelaut maka akupun akan ikut andil menjual kekayaan di perut bumi pertiwi ini, tapi jika aku menjadi teknokrat tentu aku dapat menyumbangkan pikiranku dalam mengolah kekayaan alam untuk kemakmuran bangsa. Aku tersenyum, sembari menatap raksasa besi itu. Aku berjanji dalam hati :” Bila Tuhan mengabulkan cita-cicaku maka tidak akan ada dalam kamus hidupku bangsa asing mengekplotasi kekayaan alam bangsaku “.
Perestiwa yang aku alami ini terjadi 38 tahun yang lalu sewaktu aku masih duduk di bangku SMP Bina Utama Sungai Gerong Sumatra Selatan. Namun garis hidup anak manusia di dunia ini tidak ada yang tahu, takdir Ilahilah yang menentukan, angan-anganku untuk menaklukan samudra " bak genangan minyak mentah yang tumpah di sungai musi, hanyut terbawa arus sungai yang akhirnya bermuara ke laut bebas, dia terbawa makin jauh hilang dari tatapan mata ". Andaikan waktu dapat kuputar balik aku ingin menahan minyak mentah yang tumpah ke sungai musi tidak terbawa arus, aku tak ingin dia hilang di telan samudra yang luas, aku ingin kembali ke masa lalu, berlindung di bawah pohon kelapa sawit dari sengatan teriknya matahari dan memanjakan mataku dengan memandang kapal. Kini usiaku sudah setengah abad lebih, tapi angan-anganku tetap melayang, aku berharap dan berdoa pada yang Maha Kuasa agar hanyalanku menjadi seorang teknokrat yang akan mengubah minyak mentah itu menjadi produk jadi, kelak dapat di teruskan oleh anak cucuku.
Biarlah kapal itu tetap berlayar menaklukan samudra tapi dia membawa kekayaan ibu pertiwi yang telah di olah oleh anak-anak bangsa ini. Bendera merah putih berkibar perkasa di anjungan kapal itu, sang nahoda putra terbaik bangsa ini dengan cekatan mengomando anak buahnya menjalankan amanah para pahlawan kusuma bangsa untuk menggankut hasil karya putra putri pertiwi dengan label " Made in Indonesia " untuk kejayaan dan kemakmuran bangsa. Jika anak cucuku telah dapat mewarisi agan-anganku , aku tak ingin lagi kembali memutar waktu. Aku ingin menghabiskan masa tuaku dengan mengabdi pada sang khalik dan selalu menuggu matahari terbenam, aku ingin menikmati malam yang sepi sembari mengadu, meratap dan bersyukur pada Sang Penguasa Alam. Aku tak ingin malam begitu cepat berlalu, aku belum puas mengadu, meratap dan mohon ampun padaNya. Malam yang syahdu membawaku menerawang jauh, pikiranku meliuk-liuk memasuki relung sanubari yang dalam sehingga membangunkan alam sadarku yang sedang besenandung : " hai sukma yang terbelenggu, lepaskan aganmu, jangan kau biarkan tanganmu tuamu menggapai -gapai partamogana, Sang Pencipta sayang pada sukmamu, dia ingin mengajak tangan tuamu berpengang erat dengan ketentuan dan ketetapanNya " . Pikiranku bergegas keluar relung sanubari , seiring hembusan angin malam yang membawa keikhlasan dan kepasrahan hati yang tua ini, tersungkur kepalaku bersujud dihadapanMu seraya berdoa kepada yang Maha
kuasa :

" Yaa Allah, bawalah aku bersama Kapalmu mengarungi alam akhiratmu,jangan Kau tinggalkan daku sendiri di kesepian malam"

" Yaa Allah, aku rela ditinggalkan anganku, aku ikhlas impianku pergi terbawa malamMu,biarkan aku terbawa mimpiMu".
" Yaa Allah, biarlah seyumku tak puas di dunia panaMu, jangan di alam hakiki Kau tumpahkan tangisku karena siksaMu" .
" Yaa, Allah panggillah sukmaku dalam seyumku", Amin yaa Rabbal alamin..

Nopember, 2008
Ditulis oleh : Pencari Keikhlasan.